12 Februari 2019

Proses cerai gugat (sang istri yang mengajukan cerai) di Pengadilan Agama


Sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi mereka yang beragama islam (Muslim) yang ingin mengajukan gugatan perceraian diatur khusus dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 132 s/d Pasal 148 yang antara lain berbunyi antara lain sbb :
·         Menentukan Pengadilan Agama yang berhak mengadili
Bagi mereka istri yang ingin mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya, gugatan diajukan oleh istri atau kuasanya ke Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal istri/Penggugat.

·         Pemanggilan para pihak untuk menghadiri sidang
Menurut pasal 138 Kompilasi Hukum Islam (KHI) setelah gugatan diajukan ke Pengadilan Agama maka selanjutnya para pihak akan di panggil guna menghadiri persidangan yang mana panggilan sidang akan dilakukan oleh pihak Pengadilan yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan ke tempat kediaman Penggugat dan Tergugat paling telat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang dilaksakan.
            Apabila kediaman/tempat tinggal Tergugat tidak jelas atau Tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang pasti/tetap panggilan akan dilakukan dengan cara menempelkan panggilan di papan pengumuman Pengadilan Agama dan mengumumkan panggilan sidang melalui surat kabar/media masa yang di tetapkan oleh pengadilan. Dan /atau jika sama sekali Tergugat tidak diketahui kediamannya baik didalam maupun luar negeri maka Panggilan sidang akan dilakukan dengan cara di Ghaib yaitu panggilan yang dilakukan dengan menempelkan panggilan sidang ke papan pengumuman Kantor Walikota yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat sewaktu masih diketahui pasti, namun dengan panggilan Ghaib ini memakan waktu yaitu sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dari gugatan diajukan.
            Apabila dalam hal Tergugat bertempat tinggal/domisili di luar negeri maka panggilan sidang disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat yang mana ini di atur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 140.

·         Persidangan/pemeriksaan gugatan
Pada saat pemeriksaan gugatan perceraian, berdasarkan Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 142 yang bersangkutan bisa hadir sendiri atau mewakilkan kepada kuasa hukumnya, akan tetapi meski telah mengkuasakan ke kuasa hukumnya untuk kepentingan pemeriksaan hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir.
            Dalam pemeriksaan gugatan perceaian Majelis Hakim brusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak melalui jalan mediasi, selama perkara belum diputuskan usaha Majelis Hakim untuk mendamaikan Para Pihak akan terus dilakukan setiap sidang pemeriksaan, namun jika upaya mendamaikan kedua belah pihak tidak dapat tercapai maka pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

·         Putusan perkara perceraian
Pembacaan Putusan tentang percerian dilakukan dalam sidang terbuka yang dibacakan oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkasa tersebut, suatu perceraian dianggap telah terjadi beserta akibat hukumnya terhitung 14 hari setelah putusan dibacakan oleh Majelis Hakim dan tidak ada upaya Hukum Banding dari para pihak, dan jika pada sidang pembacaan putusan salah satu pihak tidak hadir maka putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap di hitung 14 hari setelah pihak yang tidak hadir pada sidang putusan tersebut menerima pemberitahuan isi putusan yang disampaikan memalui surat oleh pihak  Pengadilan Agama bersangkutan.
            Setelah Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap maka pihak Pengadilan Agama bersangkutan wajib menyampaikan Salinan Putusan perceraian tersebut ke Kantor Pencatat Perkawinan/Kantor Urusan Agama (KUA) yang mewilayahi Penggugat dan Tergugat serta ke Kantor Urusan Agama (KUA) dimana perkawinan Penggugat dan Tergugat dilaksanakan/dicatatkan.
            Pihak Pengadilan Agama wajib mencetak/membuat Salinan putusan dan juga Akta Perceraian yang diperuntukan bagi Penggugat dan Tergugat sebagai bukti bahwa perkawinan antara Penggugat dan Tergugat telah putus karena perceraian.

13 Januari 2019

Hukum Perkawinan Antara WNI dengan WNA


A.    Perkawinan Antara Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA)
perkawinan antara WNI dan WNA dalam hukum positif Indonesia tidak dilarang baik itu perkawinan yang dilaksanakan didalam Negeri (Indonesia) yang disebut Perkawinan Campuran ataupun yang dilaksanakan di Luar Negeri disebut dengan Perkawinan diluar Indonesia  asalkan syarat dan ketentuan mengikuti prosedur yang ada pada negara tersebut.
1.      Perkawinan Campuran
Perkawinan Campuran ialah Perkawinan Warga Negara Indonesia  (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) yang mana perkawinannya dilangsungkan di dalam Negeri (Indonesia), namun Perkawinan Campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di Indonesia terpenuhi, sebagaimana diatur dalam Pasal 57 UU Perkawinan yang menyatakan :
                  yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”
                                     
2.         Perkawinan di Luar Indonesia
Perkawinan di Luar Indonesia ialah perkawinan antara seorang Warga Negara Indonesia (WNI) dengan seorang Warga Negara Asing (WNA) yang perkawinannya dilangsungkan di luar wilayah Indonesia dan mengikuti aturan dan hukum negara dimana perkawinan itu dilangsungkan.
                 
Salah satu contoh jika seorang WNI menikah dengan WNA dan memilih tempat perkawinan di Luar Negeri maka keduanya harus patuh dan tunduk pada aturan/hukum yang berlaku di Negera dimana mereka melangsungkan perkawinan, serta harus melaporkan kekonsulat Indonesia yang ada di Negara tersebut, dan juga melaporkan perkawinan yang dilangsungkan di Luar Negeri paling lambat satu tahun setelah perkawinan dilangsungkan ke Kantor Catatan Sipil setempat agar mendapatkan surat Laporan Kawin Luar Negeri dan tentunya juga agar perkawinannya tercatat di Indonesia.  Sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Perkawinan yang berikut:
1)         Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini;
2)         Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.


B.        Akibat-akibat hukum bagi Perkawinan Campuran
Tentunya ada akibat hukum yang tibul dari adanya suatu perbuatan, dan dalam konteks perkawinan campuran seperti yang dibahas diatas pastinya ada beberapa sebab akibat yang harus di ikuti diantaranya adalah tentang masalah harta atau harta bersama.
    Bagi seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan Warga Negara Asing (WNA) yang telah melangsungkan perkawinan dan Perkawinan tersebut telah sah baik di Indonesia maupun sah di Negara dimana Pernikahan dilangsungkan, memang setalah adanya perkawinan bagi keduanya tidak di perbolehkan untuk memiliki hak milik atas Tanah, hak guna bangunan, hak guna usaha yang ada di Indonesia. Hal tersebut telah termuat dalam Pasal 35 UU Perkawinan yang berbunyi “ Bahwa harta benda yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi bersama. Mamun jika merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria, yang menyebutkan “ Warga Negara Asing tidak boleh memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha, serta Hak Guna Bangunan”. Jadi kesimpulannya adalah jika harta yang didapatkan setelah perkawinan menjadi milik bersama yang menjadi masalah adalah seorang Warga Negara Asing (WNA) tidak diperbolehkan memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha, serta Hak Guna Bangunan di Indonesia, namun demikian jika seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang masih tetap ingin memiliki hak milik meskipun telah melangsungkan perkawinan dengan Warga Negara Asing (WNA), harus membuat Perjanjian ataupun perjanjian pranikah yang mengatur mengenai pemisahan harta








29 November 2018

Bisakah mengajukan gugatan cerai jika salah satu pihak tidak diketahui keberadanya


Apa yang mendasari seseorang untuk mengajukan gugatan perceraian di Pengadilan ? tentunya ini adalah permasalahan pribadi dan hanya pasangan suami istri yang mengetahui, namun jauh sebelum seseorang memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian tentunya ada beberapa pertimbangan sebab ini bukan masalah yang sepele karena perceraian tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa adanya permasalahan antara suami istri sebab jauh sebelum terniat untuk mengajukan perceraian mereka adalah pasangan yang saling mencintai menyanyangi satu sama lain bahkan didepan saksi mereka berjanji akan selalu menghargai dan menghormati masing-masing pasangan itulah yang disebut perkawinan, dasar perkawinan itu sendiri terjadi karena adanya perasaan saling mencintai dan menyanyangi dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia, akan tetapi seiring berjalanya waktu dan usia perkawinan yang terus bertambah gelombang cobaan dan kerikil-kerikil ujian mereka temui disini lah terkadang mulainya permasalahan yang menjerumus kearah percekcokan, pertengkaran, KDRT, datangnya orang ketiga dan lain sebagainya.                Terkadang bagi mereka yang tidak tahan akan permasalahan rumah tangganya tanpa tanggung jawab pergi begitu saja meninggalkan pasangannya tanpa diketahui lagi keberadaannya yang pasti, di tahap inilah terkadang pasangan yang ditinggalkan mulai merasa gelisah dan bimbang harus berbuat apa. Muncul pertanyaan apakah bisa mengajukan perceraian jika pasangan tidak diketahui dan bagaimana caranya ? jawabanya adalah bisa dan mengajukan gugatannya ke kepangadilan yang mewilayahi tempat kediaman Penggugat saat ini sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (2) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Yang berbunyi Sbb : “Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraiandiajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat
                adapun tatacaranya hampir sama dengan mengajukan gugatan dengan alamat yang diketahui, hanya saja karena alamat yang untuk tergugat tidak diketahui maka ada yang berbeda dengan panggilan untuk tergugat yaitu menggunakan panggilan media masa, yang sering digunakan di pengadilan yaitu media masa berupa surat kabar (Koran). Lain halnya bagi mereka yang beragama muslim yang gugatanya diajukan di Pengadilan Agama dan cerai di Pengadilan Agama ada 2 macam yaitu sebagai berikut :1)      Gugatan Cerai Ghoib adalah gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama oleh seorang istri untuk menggugat cerai suaminya, di mana sampai dengan diajukannya gugatan tersebut, alamat maupun keberadaan suaminya tidak jelas (tidak diketahui).2)      Permohonan Cerai Talak Ghoib adalah Permohonan Cerai Talak di mana istri tidak diketahui dengan jelas alamat dan keberadaannya, baik di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia.Karena ini merupakan perkara gugatan cerai antara suami istri yang beragama Islam, maka sesuai pada Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”): yang berbunyi1)      Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat.2)      Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.3)      Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.Jadi, gugatan perceraian yang diajukan oleh istri pada dasarnya dilakukan di tempat kediaman penggugat. Hal ini bertujuan untuk melindungi pihak istri.Syarat Cerai Gugat GhaibDalam hal suami ghaib, maka ada persyaratan yang wajib dipenuhi oleh istri (Penggugat) yang mengajukan gugatan cerai. yaitu:1)      Alamat lengkap Penggugat saat ini.
2)      Surat keterangan Ghaib dari Kelurahan
3)      Membuat guagatn/permohonan Cerai
4)      Foto Copy KTP Penggugat
5)      Buku Nikah Asli dan foto copy
6)      Untuk biaya biasanya masing-masing Pengadilan Agama Memiliki ketentuan sendiri-sendiri, jadi disini saya tidak bisa memastikan biayanya
Demikian informasi ini saya sampaikan semoga dapat membantu dan bermanfaat.



14 November 2018

PERMASALAHAN APA SAJA YANG DIPERBOLEHKAN UNTUK MENGGUGAT CERAI ?


Perceraian adalah perbuatan yang tidak pernah kita duga dan mungkin kebanyakan orang tidak mengharapkan hal semacam itu bisa terjadi/menimpa padanya, pada dasarnya niat bercerai/pisah muncul karena akumulasi perasaan kesal seseorang yang sudah memuncak yang bermula dari pertengkaran/percekcokan kecil. Jika kita tinjau kembali menurut hukum positif dan agama tidak ada satupun dari semua itu yang menganjurkan untuk bercerai tanpa didasari dengan alasan-alsan yang mendukung.  
                belakangan ini perceraian di Indonesia menjadi fenomena baru yang semakin tahun grafiknya terus meningkat dan yang melatar belakangi itu semua berbagai macam alasan dari masalah ekonomi, adanya orang ketiga, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan lain sebagainya. Seperti yang telah di atur dalam pasal 19 PP no 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi sbb:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b.       Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d.       Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f.        Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 19 PP No. 9 tahun 1975 tersebut diatas adalah alasan-alasan yang sah dan diperbolehkan untuk mengajukan gugatan perceraian, akan tetapi tidak cukup dengan alasan-alasan saja harus dibuktikan dasar alasan-alasan tersebut.
               

08 November 2018

PERKAWINAN YANG SESUAI DENGAN KETENTUAN AGAMA ISLAM DAN HUKUM DI INDONESIA



Pernikahan adalah anjuran Allah SWT bagi manusia untuk mempertahankan keberadaannya dan mengendalikan perkembangbiakan dengan cara yang sesuai dan menurut kaidah norma agama, Pernikahan juga dapat diartikan sebagai salah satu ibadah yang paling utama dalam pergaulan masyarakat agama islam dalam hidup bermasyarakat. Pernikahan bukan saja merupakan satu jalan  untuk membangung rumah tangga dan melanjutkan keturunan. Pernikahan juga dipandang  sebagai jalan untuk meningkatkan ukhuwah islamiyah dan memperluas serta memperkuat tali silaturahmi diantara manusia. 
            Adapun dasar hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian- Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).
”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.
Sedangkan makna perkawinan dalam hukum Indonesia adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Di Indonesia sendiri perkawinan bagi mereka yang beragama islam telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal Pasal 2 yang berbunyi sbb Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Adapun untuk tujuan Perkawinan ada pada Pasal 3 yang berbunyi sbb : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah”.
Akan tetapi perkawinan seperti apa yang di maksud seperti poin-poin diatas belum cukup, artinya perkawinan harus dilaporkan ke petugas pencatat perkawinan dalam hal ini yang berhak atas itu adalah Kantor Urusan Agama (KUA) hal ini sesuai dengan apa yang ada pada Pasal 5 (KHI) yang berbunyi sbb:
(1)  Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.
(2)  Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-undang No. 32 Tahun 1954.

Akhir-akhir ini dikalangan orang awam khususnya bagi mereka yang beragama islam (Muslim), banyak sekali ditemui orang yang katanya sudah menikah namun mereka tidak bisa membuktikan pernikahannya seperti buku nikah dan lain sebagainya, mereka berdalih perkawinan mereka sah secara agama karena menikah dihadapan kiyai, ustads dll, jika melihat ketentuan-ketentuan diatas tanpa mereka sadari secara  administrasi mereka belum tercatat sebagai pasangan suami istri hal semacam ini akan menjadi kendala dikemudian hari jika sudah dikaruniai keturunan karena apa? tetap saja anak yang dilahirkan tersebut bisa mendapatkan akta kelahiran akan tetapi tidak bisa mencantumkan nama ayah dalam aktanya.
            Oleh karena itu sangat penting perkawinan yang sah secara agama maupun secara administrasi negara, maksudnya adalah pernikahan yang  terdaftar dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat hal ini untuk memastikan dan melegalkan hubungan perkawinan mereka baik secara hukum agama maupun hukum positive (Indonesia).
            Namun timbul pertanyaan jika perkawinan sudah terlanjur dilaksanakan secara agama dan belum sempat melaporkan ke KUA apa yang harus mereka lakukan ? apakah harus mengulang perkawinan dari awal ?. tidak perlu khawatir dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan jika terjadi hal semacam itu “ISBAT NIKAH” lah solusinya seperti yang termuat dalam pasal 7 KHI yang berbunyi sbb:
(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.
(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.
(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d) Adanyan perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974;
(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

11 April 2018

Undang-Undang atau Peraturan Yang Penting Dalam Proses Cerai



Undang-undang atau peraturan yg digunakan dalam proses perceraian di pengadilan:
1. UU No. 1 Tahun 1974, Undang-undang Perkawinan
- Mengatur tentang perceraian secara garis besar (kurang detail krn tidak membedakan cara
perceraian agama Islam dan yg non-Islam)
- bagi yg non-Islam maka peraturan tata cerai-nya berpedoman pada UU No.1 Th 74 ini
2. Kompilasi Hukum Islam
- bagi pasangan nikah yg beragama Islam, maka dlm proses cerai peraturan yg digunakan
adalah Kompilasi Hukum Islam)
3. PP No. 9 Tahun 1975, Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Th. 74
- mengatur detail tentang pengadilan mana yg berwenang memproses perkara cerai
- mengatur detail tentang tatacara perceraian secara praktik
4. UU No. 23 Tahun 1974, Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga (KDRT)
- bagi seseorang yg mengalami kekerasan/penganiyaan dalam rumah tangganya maka
kuasailah UU ini


Ingin mengajukan gugatan perceraian ataupun permasalahan hukum keluarga dan anak lainnya? Kami siap membantu Anda. Jasa Pengacara :
  • Wulandari SH, No. Telp/WhatsApp : 0877-7468-7402
  • Latief SH (Pengacara), No. Telp/WhatsApp : 0878-7872-2282

free konsultasi klik www.pengacaraperceraian.com

20 Maret 2018

Tiga hal yang sering terlupakan ketika Menggugat Cerai Suami

Sekitar kurang lebih dari 6000 kasus perceraian di wilayah Jakarta setiap tahunnya didominasi dengan jumlah gugatan cerai dari istri. Tercatat jumlah istri yang menggugat sekitar 4000an perkara, sedangkan sisanya adalah gugatan cerai dari sang suami.
Penyebab diajukannya gugatan pun beragam. Ada yang karena permasalahan ekonomi seperti terlilit hutang dan tidak terpenuhinya nafkah hidup keluarga, ada juga yang disebabkan dari kehadiran pihak ketiga yang menyebabkan keluarga sudah tak harmonis seperti dahulu.
Akan tetapi, dari sekian banyaknya wanita yang mengajukan gugatan perceraian sendiri dan tidak melakukan konsultasi dengan Pengacara yang piawai dalam hukum keluarga ditemukan fakta bahwa gugatan diajukan seadanya saja. Isinya cenderung menumpahkan emosi dan amarahnya. Oleh karenanya, gugatan yang diajukan kurang memperhatikan hak lainnya seperti yang sudah diatur dalam hukum keluarga yang berlaku di Indonesia.
Adapun hal – hal yang sangat sering terlupa dan merupakan kesalahan fatal antara lain:
    1. Permasalahan Tentang Anak, baik itu Tentang Pemeliharaan Anak maupun Nafkah Anak sampai Dewasa.Ini yang paling sering terjadi. Perasaan seorang istri yang masih diliputi emosi terhadap suaminya hanya berpikir untuk segera bercerai dengan suaminya. Ia tak terpikir untuk menuntut hak asuh anak dan nafkah anak. Masalah baru terungkap di kemudian hari setelah bercerai ketika ia bingung bagaimana meminta pertanggungjawaban mantan suami dalam hal nafkah anak.
    2. Permasalahan Tentang Nafkah Mantan Istri.Walaupun banyak mantan istri yang tidak ingin bergantung lagi pada mantan suami, namun perlu dipahami bahwa nafkah bagi mantan istri ini adalah hak yang diberikan oleh UU Perkawinan. Dalam Pasal 41 huruf c disebutkan bahwa hakim dapat menentukan jumlah nafkah bagi mantan istri.
    3. Permasalahan Mengenai Pembagian Harta Bersama (Gono-Gini)Jika sejak awal memiliki perjanjian perkawinan, masalah pembagian harta bersama tidak menjadi kendala. Tapi pembagiannya akan sedikit lebih sulit jika tidak ada perjanjian perkawinan.
Dengan tidak memperhatikan tiga masalah di atas ketika melakukan gugatan perceraian merupakan kesalahan yang sangat fatal, penyesalan lah yang akan dating di kemudian hari. Agar tidak menyesal, sebaiknya konsultasikan dulu masalah Anda dengan pengacara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum keluarga.
Ingin mengajukan gugatan perceraian ataupun permasalahan hukum keluarga dan anak lainnya? Kami siap membantu Anda. Jasa Pengacara :
  • Wulandari SH, No. Telp/WhatsApp : 0877-7468-7402
  • Latief SH (Pengacara), No. Telp/WhatsApp : 0878-7872-2282
free konsultasi klik www.pengacaraperceraian.com